monolog blog

manja

ADSENSE HERE!
Waktu sma sekitar tahun 90an kawan-kawan saya bisa disebut kalangan mampu. Yang namanya rumah ya terdiri dari beberapa kamar, ruang makan/tamu, garasi dst. Ada yang tinggal di tengah kota, komplek-komplek dan ada juga di kawasan elit dengan bangunan gaya Belanda dengan pohon-pohon besar nan rimbun.

Kawan-kawan saya pada umumnya pelajar dan profesi ayah mereka kebanyakan pns, tni, polri dan sebagian lagi pedagang. Jika berkenalan pertanyaan yang umum itu “sekolah/kuliah dimana?”

Tahun 2006 saya menikah, mengontrak rumah petak atau bahasa kerennya rumah studio, ruang seluas 2,5m x 6m disekat tiga, ruang tamu, tidur dan dapur berhimpitan dengan kamar mandi nan sempit. Perbulan sewanya rp 250rb. Setahu saya bukan kontrakan murahan kan untuk ukuran saat itu?.

Ada enam petak, paling ujung digunakan warung lalu pengontrak sebelahnya pekerja serabutan yang entah apa kerjanya setahu saya hanya mancing dan mancing. Lalu petak sebelahnya dihuni pria berusia 50an dengan istri keduanya yang berusia 20 tahunan dan sebelah saya pekerja serabutan ngakunya montir.

Sepeda motor “grand” saya diservis karbu olehnya tapi akhirnya baut leher angsa malah slek/dol lalu saya meminta tolong padanya untuk menganti anting-anting shock belakang malah lecet dan tidak berhasil dibuka dan terakhir “blitz” saya baut casingnya patah karna terlalu keras dikencangkan. Pantas saja dia di phk dan susah mencari kerja karna kerjanya tidak profesional.

Anaknya tiga, dua putra dan satu putri. Putri/si bungsu seringkali menangis di malam hari, kata istri saya sepertinya anak itu kelaparan. Tempat jemuran baju berada di depan pintu petak sehinngga saya bisa mencium mana baju yang dicuci dengan detergen atau hanya direndam air saja. Saat istrinya mencuci saya tidak melihat ember, baju itu dicuci dan dibawa dengan kantong plastik, pantas saja di petaknya tidak ada ember. Tidur diatas tikar bukanlah lirik lagu dangdut tapi kenyataan bagi mereka.

Istrinya lulusan kuliah, entah bagaimana bisa hidup seperti itu. Syukurlah setelah beberapa lama dia diterima menjadi guru honorer pada sebuah sekolah tehnik.

Saya dilahirkan pada sebuah keluarga berkecukupan namun karna berkecukupan maka wawasan saya begitu-begitu saja. Saat usia 30an saya baru rajin membaca buku-buku misalnya, menulis atau membuka situs-situs agama misalnya. Padahal banyak di luar sana contohnya kawan saya yang semasa kuliah tidak dibiayai orangtuanya tapi tetap semangat rajin belajar mendalami ilmu elektronika. Saat orang lain masih buta dengan play station2, dia sudah bisa menservisnya, saat orang lain bisa servis play station2 dia sudah bisa menservis play station3 dan terakhir dia sudah bisa menservis led tv.

Tahun 2000an saja kawan saya sudah berani mengontrak kios di pusat elektronik di kota Bandung dan namanya sudah dikenal lalu sudah mampu mencicil “ford ranger”
Kawan saya berujar “kata siapa cari pekerjaan itu susah? Peluang itu banyak, yang susah itu jika skill kita pasaran alias orang lain juga banyak yang bisa sehingga banyak saingan”.
Kawan saya tukang servis itu sekarang sudah memiliki dua rumah, yang satu digunakan orangtuanya dan satunya untuk dia dan istrinya.

Memang ada anak yang dilahirkan di keluarga mampu lalu meneruskan usaha ayahnya misalnya dengan sukses tapi pada umumnya anak yang dimanja itu malah jadi selektif/gengsian dalam memilih kerja.

Saya pernah berkenalan dengan seorang jemaah komunitas agama tertentu yang dikenal nyeleneh karna meninggalkan keduniawian/keluarga demi mengajak/berdakwah pada sesama, dia berkata “harusnya seorang sarjana itu minimal mampu menyelamatkan diri sendiri”, wow sederhana kalimatnya namun mengena. Ternyata dia seorang mahasiswa S2.

Kemiskinan, keterbatasan, kesusahan harusnya menyadarkan kita yaa? Untuk hemat, kuat, peka terhadap lingkungan. Contoh nyatanya banyak generasi orang tua kita dulu yang lahir tahun 30,40an merantau lalu mampu membangun usaha, membeli rumah membiayai ongkos ibadah haji orang tuanya, berbeda sekali dengan generasi anaknya sudah disediakan tempat usaha, disekolahkan eh usahanya begitu-begitu saja bahkan mencari seribu alasan dengan berujar tempat tidak strategis lah, banyak saingan, bbm naik dsb.

Yah menyalahkan keadaan memang mudah dibanding memperbaikinya.

ADSENSE HERE!

No comments:

Post a Comment

Copyright © taman senja. All rights reserved. Template by CB. Theme Framework: Responsive Design